Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan kebijakan baru yang mewajibkan pelajar dan peserta program pertukaran asal Indonesia untuk menyertakan akun media sosial mereka dalam formulir aplikasi visa. Kebijakan ini berlaku bagi pemohon visa F, M, dan J, yang diperuntukkan bagi pelajar dan program pertukaran.
Pengumuman tersebut disampaikan melalui akun Instagram Kedutaan Besar AS di Jakarta, @usembassyjkt, pada Jumat (20/6). Kedutaan Besar AS menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya memperkuat proses pemeriksaan visa untuk menjaga keamanan nasional dan keselamatan publik. Mereka menekankan perlunya transparansi informasi dari para pemohon.
Menurut keterangan Kedubes AS, pemohon wajib mencantumkan semua akun media sosial mereka dan mengatur agar pengaturan privasi akun tersebut menjadi “publik”. Kegagalan dalam memenuhi kewajiban ini dapat berakibat pada penolakan visa dan bahkan berpotensi menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan visa di masa mendatang. Kebijakan ini sebenarnya sudah berlaku sejak tahun 2019.
Media sosial, menurut Kedubes AS, menjadi salah satu alat penyaringan untuk mengidentifikasi pemohon visa yang tidak memenuhi syarat, terutama mereka yang dianggap berpotensi mengancam keamanan nasional AS. Proses verifikasi ini bertujuan untuk menyaring calon visa yang mungkin memiliki rekam jejak yang meragukan.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan implikasinya bagi para pemohon visa. Meskipun pemerintah AS berdalih demi keamanan nasional, beberapa pihak mungkin khawatir dengan potensi penyalahgunaan informasi pribadi yang diungkapkan melalui akun media sosial.
Latar Belakang Kebijakan dan Kontroversi
Kebijakan ini muncul dalam konteks yang lebih luas, yaitu upaya pemerintah AS untuk meningkatkan keamanan perbatasan dan pengawasan imigrasi. Di masa lalu, kebijakan-kebijakan serupa telah memicu kontroversi dan perdebatan publik.
Di masa pemerintahan Presiden Donald Trump, kebijakan-kebijakan yang ketat terhadap imigrasi dan pengawasan terhadap warga asing semakin diperketat. Salah satu contohnya adalah perseteruan antara pemerintah Trump dengan beberapa universitas bergengsi seperti Harvard.
Perseteruan Trump dan Universitas Harvard
Pemerintahan Trump menuduh Harvard “mempromosikan kekerasan, antisemitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China”. Tuduhan ini kemudian berujung pada pemotongan dana hibah dan ancaman pencabutan status bebas pajak Harvard. Trump bahkan melarang Harvard menerima mahasiswa dari negara lain.
Pernyataan Trump di platform Truth Social pada Minggu (25/5) waktu setempat, seperti yang dikutip oleh AFP, mengungkapkan: “Kenapa Harvard tidak bilang bahwa hampir 31 persen mahasiswa mereka berasal dari NEGARA ASING, dan negara-negara itu, beberapa bahkan tidak bersahabat dengan Amerika Serikat, tidak membayar APA PUN untuk pendidikan mahasiswa mereka, dan juga tidak pernah berniat melakukannya.” Pernyataan ini menunjukkan adanya ketegangan yang mendalam antara pemerintah AS dan lembaga pendidikan tinggi.
Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah AS terhadap Harvard, termasuk larangan menerima mahasiswa asing, berdampak signifikan pada kampus tersebut. Harvard memiliki sekitar 6.800 mahasiswa asing pada tahun akademik 2025-2026, atau sekitar 27 persen dari total mahasiswa.
Peristiwa ini menunjukkan adanya kecenderungan pemerintah AS untuk meningkatkan kontrol dan pengawasan, tidak hanya terhadap imigrasi, tetapi juga terhadap lembaga pendidikan tinggi. Kebijakan mengenai akun media sosial dalam aplikasi visa dapat dilihat sebagai bagian dari tren ini.
Meskipun kebijakan pencantuman akun media sosial dalam aplikasi visa ditujukan untuk menjaga keamanan nasional, perlu dipertimbangkan pula aspek privasi dan potensi implikasi negatifnya bagi para pemohon. Diperlukan transparansi dan mekanisme yang jelas untuk melindungi hak-hak privasi para pemohon.
Ke depan, penting untuk memantau implementasi kebijakan ini dan dampaknya terhadap pelajar dan peserta program pertukaran dari Indonesia. Diskusi publik yang terbuka dan kritis diperlukan untuk memastikan keseimbangan antara keamanan nasional dan perlindungan hak-hak individu.
(dhf/agt)







