Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengeluarkan aturan baru terkait produk asuransi kesehatan di Indonesia. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2026. Salah satu poin pentingnya adalah penerapan skema *co-payment*, yaitu pembagian biaya klaim antara perusahaan asuransi dan nasabah. Penerapan ini menuai beragam reaksi, namun sebagian pihak menilai skema ini justru menguntungkan bagi masyarakat dalam jangka panjang.
Banyak yang mengkhawatirkan dampak *co-payment* terhadap daya beli masyarakat. Namun, beberapa ahli justru melihatnya sebagai solusi untuk mengatasi masalah premi yang terus membengkak dan potensi penyalahgunaan klaim. Mari kita telaah lebih lanjut mengenai dampak dan implikasi penerapan skema *co-payment* ini.
Mekanisme *Co-payment* dan Batasannya
SEOJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 menetapkan *co-payment* sebesar 10 persen dari total klaim. Ada batasan maksimal yang diterapkan, yaitu Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap. Aturan ini hanya berlaku untuk produk asuransi kesehatan komersial, bukan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan.
Penting untuk dipahami bahwa *co-payment* merupakan bagian dari upaya untuk menyeimbangkan beban biaya kesehatan antara perusahaan asuransi dan pemegang polis. Skema ini bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua pihak.
*Co-payment*: Menekan Premi dan Mengurangi Klaim Berlebihan
Irvan Rahardjo, pengamat asuransi, berpendapat bahwa *co-payment* tidak merugikan masyarakat. Justru sebaliknya, skema ini berpotensi menekan premi asuransi. Selama ini, banyak klaim yang berlebihan (*overutilitas*) yang membebani perusahaan asuransi.
Dengan adanya *co-payment*, pasien akan lebih bijak dalam memanfaatkan layanan kesehatan. Hal ini akan mengurangi potensi *moral hazard* dan *fraud* yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pasien, dokter, hingga rumah sakit. Potensi penyalahgunaan asuransi dapat ditekan, sehingga beban biaya asuransi menjadi lebih terkontrol.
Pengaruh terhadap Inflasi Medis
Kenaikan biaya layanan kesehatan (inflasi medis) yang tinggi membuat premi asuransi juga terus naik. *Co-payment* dinilai mampu meredam laju kenaikan premi ini. Biaya tambahan yang ditanggung pasien melalui *co-payment* akan membantu meringankan beban perusahaan asuransi.
Dengan premi yang lebih terjangkau, diharapkan lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses asuransi kesehatan. Hal ini penting mengingat BPJS Kesehatan pun menerapkan Klas Rawat Inap Standard (KRIS) yang mungkin bukan opsi bagi semua kalangan.
Edukasi dan Keberlanjutan Asuransi
Budi Tampubolon, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), menyatakan bahwa *co-payment* akan membuat premi asuransi kesehatan lebih terjangkau. Skema ini menjadi penting untuk mengendalikan kenaikan premi yang terus meningkat akibat lonjakan biaya kesehatan.
Namun, keberhasilan penerapan *co-payment* sangat bergantung pada edukasi kepada masyarakat. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa *co-payment* merupakan mekanisme bagi bagi risiko dan bukan beban tambahan semata. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat akan lebih terbiasa dengan skema ini dan dapat mendukung keberlanjutan layanan asuransi.
*Co-payment* bukanlah beban tambahan, melainkan premi variabel yang hanya dibayarkan saat terjadi klaim. Perlu adanya sosialisasi yang efektif agar masyarakat memahami fungsi dan manfaat skema ini. Dengan begitu, skema ini dapat berjalan efektif dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan industri asuransi. Kunci utamanya adalah transparansi dan edukasi yang menyeluruh.