China kembali menjadi sorotan dunia setelah pembangunan replika Gunung Fuji di provinsi Hebei. Bukan replika yang akurat, melainkan sebuah bukit kecil yang dicat putih untuk menyerupai puncak gunung ikonik Jepang tersebut. Lokasi ini bagian dari taman hiburan Universe Fantasi Land dan telah memicu gelombang kritik di media sosial.
Kejadian ini menambah daftar panjang bangunan-bangunan tiruan yang dibangun di China, menimbulkan pertanyaan tentang tren arsitektur dan budaya di negara tersebut.
Gunung Fuji Palsu di Hebei: Objek Wisata Berbiaya Mahal dengan Hasil Mengecewakan
Universe Fantasi Land, taman hiburan di Hebei, memasang biaya masuk 98 yuan (sekitar Rp 220.000) untuk pengunjung yang ingin menyaksikan “Gunung Fuji”-nya. Iklan-iklan taman hiburan menampilkan pemandangan yang sangat dramatis dan menjanjikan pengalaman bak negeri dongeng.
Namun, realita yang dihadapi pengunjung sangat berbeda. Mereka mendapati bukit kecil yang dicat putih secara kasar untuk meniru salju di puncak Gunung Fuji.
Kekecewaan pengunjung langsung tertuang di media sosial. Banyak yang menyebutnya sebagai parodi tingkat rendah, dan ada pula yang menghubungkannya dengan budaya kecurangan yang dianggap melekat di China. Komentar-komentar negatif membanjiri berbagai platform online.
Tren Replika Bangunan Terkenal di China: Antara Apresiasi dan Kritik
Pembangunan replika Gunung Fuji bukanlah yang pertama kalinya terjadi di China. Provinsi Hebei sendiri telah membangun sejumlah replika bangunan terkenal dunia sebelumnya.
Menara Eiffel, Sphinx Agung Giza, dan bahkan bagian dari Tembok Besar China telah dibuat versi tiruannya di provinsi tersebut. Proyek-proyek ini sering kali menuai reaksi beragam, mulai dari geli hingga kecaman.
Keberadaan replika-replika ini memicu perdebatan mengenai apresiasi budaya dan kreativitas. Apakah hal ini menunjukkan kurangnya inovasi atau justru bentuk penghormatan terhadap karya-karya arsitektur global?
Dampak Negatif dan Pelajaran dari “Gunung Fuji” Palsu
Kasus “Gunung Fuji” palsu ini memberikan pelajaran berharga bagi industri pariwisata di China. Menjanjikan pengalaman yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat merusak reputasi dan kepercayaan publik.
Pengelola taman hiburan harus lebih transparan dan jujur dalam mempromosikan objek wisata mereka. Menciptakan ilusi yang menyesatkan hanya akan berujung pada kekecewaan dan kritik.
Kejadian ini juga menjadi refleksi tentang bagaimana China memandang budaya dan inovasi. Apakah lebih menekankan pada kuantitas daripada kualitas? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan serius agar dapat menciptakan industri pariwisata yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Insiden Gunung Fuji palsu ini menunjukkan perlunya keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian nilai-nilai budaya yang otentik. Ke depannya, diharapkan akan lebih banyak fokus pada kreativitas dan inovasi yang asli, bukan sekadar meniru karya-karya yang sudah ada.