Data Kemiskinan Bank Dunia: Waspada, Fakta Mengejutkan Terungkap

Redaksi

Angka kemiskinan seringkali menjadi sorotan, mencerminkan kesejahteraan suatu negara. Namun, memahami data ini memerlukan kehati-hatian, terutama saat membandingkan angka dari sumber berbeda. Perbedaan metodologi dapat menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda.

Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menekankan pentingnya memahami perbedaan antara data kemiskinan versi Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Kedua lembaga ini menggunakan pendekatan yang berbeda, sehingga menghasilkan angka yang tak dapat langsung dibandingkan.

Garis Kemiskinan Bank Dunia vs. BPS Indonesia: Perbedaan Metodologi

Bank Dunia menggunakan pendekatan purchasing power parity (PPP) untuk membandingkan daya beli antar negara. Pendekatan ini penting untuk komparabilitas global, namun kurang mencerminkan realitas di tingkat nasional.

Sementara itu, BPS Indonesia menggunakan pendekatan cost of basic needs (CBN), yang lebih kontekstual. Metode ini memperhitungkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, termasuk pola konsumsi aktual.

Untuk komponen makanan, BPS menggunakan standar minimal 2.100 kilokalori (kkal) per orang per hari. Standar ini mempertimbangkan makanan pokok seperti beras, sesuai dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia.

BPS juga memasukkan kebutuhan dasar non-makanan, seperti pendidikan dan perumahan, dalam perhitungannya. Hal ini membuat data BPS lebih relevan dengan kondisi di Indonesia.

Dampak Perbedaan Metodologi terhadap Angka Kemiskinan

Perbedaan metodologi ini menghasilkan perbedaan angka yang signifikan. Pada September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen (sekitar 24 juta jiwa).

Sebaliknya, berdasarkan garis kemiskinan Bank Dunia sebesar 6,85 dolar AS PPP per kapita per hari (PPP 2017), sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024 dianggap miskin.

Dengan revisi garis kemiskinan Bank Dunia menjadi 8,30 dolar AS (PPP 2021), kesenjangan ini akan semakin melebar. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konteks metodologi dalam menafsirkan data.

Relevansi dan Evaluasi Garis Kemiskinan Nasional

Josua Pardede menilai revisi Bank Dunia terhadap garis kemiskinan global (menggunakan PPP 2021) penting untuk mencerminkan daya beli terkini. Namun, ia menekankan agar Indonesia tidak serta-merta mengadopsi standar global ini.

Ia menjelaskan bahwa metodologi BPS, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), mencerminkan kebutuhan minimum riil masyarakat di setiap provinsi. Data ini juga mempertimbangkan variasi harga dan konsumsi di perkotaan dan pedesaan.

Selain itu, garis kemiskinan BPS telah mengalami penyesuaian. Dari Rp582.932 per kapita (Maret 2024) menjadi Rp595.242 per kapita (September 2024), mengikuti inflasi harga kebutuhan dasar.

Menaikkan garis kemiskinan secara drastis ke tingkat global dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin secara statistik, menimbulkan tekanan besar pada anggaran sosial tanpa jaminan efektivitas intervensi.

Meskipun demikian, evaluasi periodik terhadap standar garis kemiskinan nasional tetap diperlukan. Hal ini penting untuk menyesuaikan dengan dinamika inflasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat.

Identifikasi kelompok rentan miskin dan hampir miskin juga krusial. Kelompok ini, yang secara statistik berada di atas garis kemiskinan namun belum aman secara ekonomi, mencapai lebih dari 70 persen penduduk menurut data BPS.

Kesimpulannya, memahami angka kemiskinan memerlukan pemahaman mendalam tentang metodologi yang digunakan. Data BPS, dengan pendekatan CBN-nya, memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kondisi kemiskinan di Indonesia. Meskipun demikian, evaluasi periodik dan perhatian terhadap kelompok rentan tetap penting untuk kebijakan yang efektif.

Also Read

Tags

Topreneur