Hardiknas: Pendidikan Indonesia, Kompas Tanpa Arah, Krisis?

Redaksi

Hardiknas: Pendidikan Indonesia, Kompas Tanpa Arah, Krisis?
Sumber: Detik.com

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tanggal 2 Mei bukan sekadar momen peringatan. Lebih dari itu, Hardiknas menjadi waktu penting untuk merefleksikan kondisi dan arah pendidikan Indonesia ke depan.

Banyak pihak menilai pendidikan Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Refleksi kritis diperlukan untuk menciptakan perubahan yang berarti.

Pendidikan Indonesia: Kompas Tanpa Arah Utara?

Pengamat pendidikan, Bukik Setiawan, memberikan metafora menarik. Ia membandingkan pendidikan Indonesia dengan kompas yang jarumnya bergerak tanpa henti, namun tak pernah menunjukkan arah utara yang pasti.

Kadang jarum kompas menunjuk ke kanan, kadang ke belakang, berputar-putar, atau bahkan hanya diam saja seakan sibuk. Kondisi ini, menurut Bukik, menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia tampak bergerak, tetapi sebenarnya hanya berputar di tempat.

Kebijakan Pendidikan yang Tak Selaras dengan Kondisi Lokal

Berdasar pengalamannya selama lebih dari sepuluh tahun mendampingi guru di 150 daerah, Bukik menyoroti pentingnya pendidikan yang relevan dengan konteks lokal.

Ia menilai sistem pendidikan Indonesia terlalu sering berfokus pada perubahan istilah dan kebijakan tanpa evaluasi yang jelas dan konsisten. Hal ini, menurutnya, berdampak negatif pada guru dan murid.

Bukik menekankan perlunya keberanian untuk menata ulang arah pendidikan. Evaluasi harus menjadi alat belajar, bukan alat untuk menakut-nakuti.

Pendidikan Indonesia, kata Bukik, seharusnya berfokus pada kesesuaian lokal, bukan hanya mengejar standar global. Guru pun harus menjadi pemimpin belajar, bukan hanya pelaksana administrasi.

Bukik mempertanyakan kemampuan sistem pendidikan saat ini dalam melahirkan generasi yang utuh secara nilai dan nalar. Ia menyoroti tantangan zaman modern seperti krisis iklim, perubahan pola kerja, dan kecerdasan buatan.

Murid membutuhkan kompetensi berpikir kritis, kemampuan kerja sama, dan empati. Sayangnya, sistem pendidikan saat ini belum mampu mendukung pengembangan kompetensi-kompetensi tersebut secara optimal.

Terombang-ambing Kebijakan yang Tidak Esensial

Pendapat Bukik diamini oleh Maurensyiah, guru SMA Negeri 22 Makassar. Ia mengaku sering terombang-ambing oleh perubahan kebijakan yang tidak esensial.

Akibatnya, esensi mendidik—menumbuhkan empati, bernalar kritis, dan peduli pada kebahagiaan murid—sering terabaikan.

Maurensyiah mengajak guru untuk lantang menyuarakan hal-hal penting dan menolak beban administratif yang tidak perlu.

Sebagai Ketua Forum Guru Indonesia dan penggerak Komunitas Guru Belajar Nusantara, Maurensyiah mendorong solidaritas antar guru dan berbagi praktik baik.

Guru, menurutnya, tidak perlu menunggu perubahan kebijakan dari pusat. Mereka bisa memulai perubahan kecil yang berdampak positif bagi murid.

Contohnya, rajin berefleksi, melakukan penilaian formatif, mendesain proyek berbasis kearifan lokal, atau mengajak diskusi murid tentang isu-isu nyata di sekitar mereka.

Perubahan sekecil apa pun, yakin Maurensyiah, akan menumbuhkan keberanian dan menginspirasi perubahan yang lebih besar dalam dunia pendidikan.

Ia berharap Hardiknas bukan hanya seremoni, melainkan momentum untuk menegaskan arah pendidikan yang memanusiakan hubungan, kontekstual, dan memberdayakan guru serta murid.

Hardiknas 2025 menjadi pengingat penting bagi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Perubahan nyata memerlukan komitmen bersama dan fokus pada esensi pendidikan itu sendiri.

Also Read

Tags

Topreneur