China memberlakukan aturan baru yang mewajibkan setiap pengguna internet untuk menggunakan virtual ID. Aturan ini, yang mulai berlaku Juli mendatang, memperketat kontrol pemerintah atas aktivitas online warga negara China.
Langkah ini menambah lapisan keamanan digital di atas kewajiban verifikasi identitas yang sudah ada di berbagai platform online China. Pemerintah China juga telah menerapkan sistem sensor ketat yang secara aktif memblokir konten kritis terhadap pemerintah.
Menurut aturan yang dikutip CNN, tujuan penerapan virtual ID adalah untuk “melindungi informasi identitas warga dan mendukung pengembangan ekonomi digital yang sehat dan teratur.” Namun, banyak pakar menilai aturan ini sebagai pembatasan kebebasan berekspresi.
Kekhawatiran atas Pembatasan Kebebasan Berpendapat
Xiao Qiang, seorang ilmuwan kebebasan internet dari Universitas California, menyatakan keprihatinannya. Ia berpendapat bahwa sistem virtual ID memungkinkan pemerintah China memantau warga secara real-time dan memblokir individu yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
“Sistem ini bisa secara langsung menghapus suara-suara yang tidak disukai pemerintah dari Internet sehingga ini lebih dari sekadar alat pemantauan. Ini adalah sebuah infrastruktur totalitarianisme digital,” tegas Qiang.
Senada dengan Qiang, Shanr Yi dari kelompok Pelindung Hak Asasi Manusia China menyatakan bahwa sistem ini memperluas kekuasaan pemerintah untuk “bertindak sesukanya” di internet. Mereka dapat melacak jejak digital setiap orang dengan mudah.
Namun, Haochen Sun, profesor hukum di Universitas Hong Kong, mempertanyakan klaim pemerintah China bahwa virtual ID melindungi informasi pribadi. Ia justru khawatir sistem terpusat ini rentan terhadap peretasan dan serangan dari pihak asing.
“Platform yang berlaku luas secara nasional dan tersentralisasi memunculkan kerawanan tunggal, membuat sistem ini menjadi target menarik bagi peretas dan pihak asing yang berbahaya,” ujarnya.
Proses Pengesahan yang Kontroversial
Aturan virtual ID diajukan oleh Jia Xiaoliang, wakil direktur kepolisian siber dan delegasi parlemen China. Meskipun pemerintah membuka draf undang-undang untuk masukan publik, kritik terhadap rancangan tersebut dihapus dari internet.
Contohnya, kritik dari Lao Dongyan, pengajar di Universitas Tsinghua, yang membandingkan virtual ID dengan “memasang alat pemantau pada setiap aktivitas individu” di Weibo, langsung dihapus. Proses ini menunjukkan bagaimana pemerintah China mengendalikan narasi publik.
Xiao Qiang mencatat bahwa ini bukanlah kali pertama pemerintah China membiarkan kritik muncul sebelum akhirnya mengesahkan aturan yang hampir tanpa perubahan. Strategi ini terbukti efektif dalam membungkam penentangan.
Aturan virtual ID telah disahkan meskipun mendapat banyak kritik. Ketiadaan perubahan signifikan dari draf awal menunjukkan bahwa pemerintah China sengaja mengabaikan suara-suara yang menentang.
“Ini dilakukan dengan sengaja. Banyak tindakan mereka dilakukan dengan pola yang sama dan terbukti efektif,” kata Qiang.
Kesimpulannya, penggunaan virtual ID di China menimbulkan kekhawatiran serius tentang pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Meskipun pemerintah mengklaim tujuannya mulia, implementasinya tampaknya dirancang untuk memperkuat kontrol pemerintah atas informasi dan aktivitas online warganya.