Gejolak ekonomi global kembali mengguncang pasar dunia. Kenaikan tajam imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) memicu kekhawatiran akan ketidakseimbangan fiskal negara adidaya tersebut. Dampaknya terasa hingga ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam waktu kurang dari sebulan, imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor 10 tahun melonjak dari 4% menjadi 4,5%, sementara obligasi bertenor 30 tahun nyaris menyentuh 5%. Ini bukan sekadar fluktuasi jangka pendek, melainkan sinyal pergeseran struktural yang signifikan dalam perekonomian global.
Risiko Fiskal AS dan Dampaknya terhadap Indonesia
Ketidakseimbangan fiskal AS telah mencapai titik kritis. Congressional Budget Office (CBO) memproyeksikan defisit fiskal AS akan meningkat dari 6,2% PDB pada 2025 menjadi 7,3% pada 2055.
Rasio utang terhadap PDB AS juga mengkhawatirkan, berada di angka 124,3% dan diproyeksikan melonjak menjadi 156% jika tren belanja fiskal agresif dan suku bunga tinggi berlanjut.
Indonesia, dengan utang pemerintah sekitar Rp8.400 triliun (Mei 2025) atau 38% dari PDB, masih tergolong moderat. Namun, kenaikan bunga global akan semakin memberatkan pembayaran bunga utang Indonesia yang kini telah mencapai Rp500 triliun per tahun.
Ancaman dari Pasar Kredit Swasta dan Dinamika Dolar AS
Meningkatnya biaya lindung risiko (hedging) terhadap gagal bayar AS melalui credit default swaps (CDS) merupakan sinyal penting. CDS AS kini bahkan mendekati level CDS Yunani dan Italia.
Pasar kredit swasta (private credit) yang tidak transparan juga semakin membesar, diperkirakan mencapai US$4,5 triliun pada 2030 (BlackRock). Risiko leverage tersembunyi di pasar ini perlu diwaspadai Indonesia, terutama dalam konteks pembiayaan infrastruktur.
Hubungan antara dolar dan suku bunga juga berubah tak terduga. Sejak Maret, dolar melemah 6% terhadap euro meskipun imbal hasil obligasi AS naik. Ini menunjukkan investor global meminta premi lebih tinggi untuk memegang dolar AS.
Tren ini berpotensi memperkuat tekanan terhadap nilai tukar rupiah, yang saat ini berada di kisaran Rp16.200 per dolar AS. Potensi pelemahan lebih lanjut hingga di atas Rp17.000 sangat mungkin terjadi.
Ketergantungan Pasar Saham AS dan Tantangan bagi Indonesia
Ketergantungan rumah tangga AS pada pasar saham (lebih dari 70% kekayaan keuangan mereka) menimbulkan risiko sistemik. Koreksi besar di pasar saham AS akan berdampak global.
Di Indonesia, jumlah investor pasar modal meningkat tajam (13,4 juta di awal 2025). Volatilitas pasar global berpotensi memicu aksi jual massal di pasar keuangan domestik.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2025 hanya mencapai 4,9%, di bawah ekspektasi 5,1%. Sektor ekspor melemah akibat penurunan permintaan global, sementara beban utang dalam APBN meningkat.
Pelemahan nilai tukar rupiah memperbesar biaya impor dan subsidi energi. Jika harga minyak dunia tetap di atas US$85 per barel, subsidi BBM tahun ini bisa mencapai lebih dari Rp400 triliun, menekan ruang fiskal.
Namun, Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang cukup kuat (US$136 miliar pada Mei 2025). Kebijakan hilirisasi nikel dan bauksit juga berpotensi mendongkrak penerimaan ekspor jangka menengah.
Indonesia membutuhkan respons kebijakan yang adaptif dan koordinasi yang solid antar lembaga. Pengelolaan risiko fiskal yang lebih disiplin, stabilisasi nilai tukar dan pasar keuangan, diversifikasi pembiayaan infrastruktur, dan penguatan ketahanan pangan dan energi menjadi prioritas.
Kita tak dapat mengendalikan arah angin global, tetapi kita dapat memperkuat layar ekonomi nasional agar tetap melaju menuju pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Ketahanan domestik yang kuat menjadi kunci menghadapi ketidakpastian global yang kompleks ini.
*) Dr. Aswin Rivai, SE., MM adalah Pengamat Ekonomi, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta