Rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) untuk menambah jumlah rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri dari 36 menjadi 50 murid per kelas menuai kritik. Kebijakan ini tertuang dalam Kepgub Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 dan direncanakan berlaku mulai tahun ajaran 2025/2026. Kritik datang dari berbagai pihak, termasuk DPRD Jawa Barat dan pakar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari, menyatakan penambahan rombel ini berpotensi memperparah disparitas pendidikan dan berisiko mengosongkan sekolah swasta. “Kalau sekarang jadi 50, disparitas bakal terjadi. Terus di luar itu, apakah ketika maksimal jadi 50 itu sudah direncanakan dengan matang? Misalnya, implikasi adanya penambahan rombel maka jumlah murid bertambah di satu sekolah, tapi akan berkurang di tempat lain seperti di swasta,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini akan menjadi sejarah baru dalam dunia pendidikan Indonesia sejak era Orde Baru.
Zaini menekankan dampaknya tidak hanya pada murid, tetapi juga pada keberlangsungan guru dan tenaga kependidikan di sekolah swasta. “Di swasta, tidak hanya murid yang berkurang. Guru kalau enggak ada muridnya mau ngapain? Penjaga sekolah, tenaga administrasi sekolah, itu kan berangsur dampaknya,” tegasnya. Ia meminta Pemprov Jabar untuk memperhatikan kualitas pendidikan dan keseimbangan antara lembaga pendidikan negeri dan swasta, serta mengajak Komisi V untuk berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan dan forum sekolah swasta terkait hal ini.
Dampak Negatif Penambahan Rombel: Perspektif Pakar
Cepi Triatna, Dosen Prodi Administrasi Pendidikan FIP UPI, mengungkapkan risiko utama dari penambahan rombel adalah terhambatnya proses pembelajaran. Guru akan kesulitan memberikan layanan yang terdiferensiasi kepada setiap murid mengingat jumlah yang meningkat. “Risiko utama yang akan dirasakan yakni pembelajaran akan terkendala atau terhambat karena guru harus memberikan layanan kepada setiap peserta didik sesuai dengan karakteristiknya (dikenal dengan pembelajaran berdiferensiasi). Karena jumlah murid yang lebih banyak maka guru harus menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk memahami dan memberikan layanan yang lebih individual kepada setiap murid,” jelasnya.
Selain itu, Cepi juga menyoroti aspek kenyamanan dan psikologis murid. Ruang kelas yang lebih sempit akan mengurangi ruang gerak dan memicu ketidaknyamanan, bahkan berpotensi menimbulkan konflik antar murid. “Adapun dari sisi pedagogis, layanan guru akan cenderung disamakan kepada para murid dan kurang memperhatikan karakteristik individu. Dari sudut pandang psikologis, hal ini sangat berpotensi memunculkan konflik di antara murid, yaitu ketika ruang gerak anak tidak leluasa dan guru tidak mengaturnya secara sesuai,” tuturnya.
Cepi menekankan pentingnya mitigasi risiko dengan memperkuat keterampilan guru dalam mengelola kelas besar, serta memberikan kesejahteraan yang memadai. Ia menyarankan strategi pembelajaran aktif, kooperatif, dan pemanfaatan teknologi untuk memastikan pembelajaran tetap efektif. “Motivasi guru perlu diperkuat karena bertambahnya jumlah murid di kelas akan berimplikasi pada berbagai layanan dalam mengelola kelas dan berisiko membuat stres guru, jika guru tidak siap dengan keterampilan yang harus dimiliki,” imbuhnya.
Tanggapan Dinas Pendidikan Jabar
Kepala Dinas Pendidikan Jabar, Purwanto, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menjamin semua anak mendapatkan hak pendidikan, bukan untuk mematikan sekolah swasta. Ia mengklaim masih ada sekitar 400 ribu siswa yang bisa ditampung di sekolah swasta setelah penambahan rombel di sekolah negeri. “Dari lulusan kita sekitar 700 ribuan, itu masih ada sekitar 400 ribuan anak yang tidak tertampung di negeri, bahkan setelah penambahan rombel. Nah, itu artinya apa? Masih bisa masuk ke sekolah swasta atau sekolah di bawah naungan Kementerian Agama,” ucapnya.
Purwanto juga menegaskan bahwa kebijakan ini tidak bersifat mutlak dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing sekolah. Artinya, tidak semua rombel harus berjumlah 50 siswa. Namun, pernyataan ini tampaknya tidak cukup meyakinkan mengingat kekhawatiran yang telah disampaikan oleh DPRD Jabar dan para pakar pendidikan.
Kesimpulannya, rencana penambahan rombel ini menimbulkan kontroversi dan perlu dikaji ulang secara menyeluruh. Pertimbangan yang matang terhadap dampaknya terhadap kualitas pendidikan, kesejahteraan guru, dan keberlangsungan sekolah swasta sangat penting sebelum kebijakan ini diterapkan. Dialog dan kolaborasi antara pemerintah, DPRD, pakar pendidikan, dan pihak sekolah swasta sangat krusial untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Perlu adanya evaluasi yang komprehensif dan transparan mengenai dampak kebijakan ini, baik jangka pendek maupun jangka panjang, untuk memastikan keberhasilan program dan menghindari dampak negatif yang lebih luas. Penting juga untuk memastikan kesiapan guru dalam menghadapi kelas yang lebih besar dan memastikan terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana di sekolah.