Kebijakan tarif impor yang diterapkan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomian Thailand. Ancaman kerugian ekonomi yang dihadapi Negeri Gajah Putih mencapai US$ 24 miliar atau setara dengan Rp 360 triliun (kurs saat artikel ditulis). Hal ini memaksa Thailand untuk segera mencari solusi strategis guna mempertahankan daya saing dan investasi asing.
Ketua The Federation of Thai Industries (FTI), Kriengkrai Thiennukul, mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak negatif kebijakan tersebut terhadap daya saing produk Thailand di pasar internasional. Ia menekankan urgensi pencarian solusi untuk mengatasi tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.
Dampak Tarif Impor Trump terhadap Ekonomi Thailand
Tarif impor tinggi yang diberlakukan terhadap produk ekspor Thailand secara langsung menghambat penetrasi pasar internasional, khususnya di Amerika Serikat sebagai salah satu mitra dagang utama. Hal ini berdampak besar pada berbagai sektor industri utama di Thailand.
Beberapa sektor yang paling terdampak adalah industri otomotif, pengolahan makanan, dan pertanian. Ketiga sektor ini menjadi tulang punggung perekonomian Thailand dan kontribusi ekspornya ke AS cukup signifikan.
Pemerintah Thailand saat ini tengah gencar mencari solusi untuk meminimalisir kerugian. Upaya yang dilakukan antara lain diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara Asia lainnya dan penguatan sektor industri dalam negeri.
Industri Otomotif Thailand Terancam
Analisis dari S&P Global Mobility memperkirakan penurunan produksi mobil global sekitar 2 persen pada tahun 2025 akibat kebijakan tarif impor Trump. Penurunan tersebut setara dengan pengurangan 1,55 juta unit dibandingkan tahun sebelumnya.
Amerika Utara menjadi wilayah yang paling merasakan dampaknya, dengan potensi penurunan produksi kendaraan hingga 9 persen. Penjualan mobil di Amerika Serikat juga diperkirakan turun sekitar 3 persen.
Tingginya ketergantungan industri otomotif AS pada komponen dan kendaraan impor menjadi faktor utama penurunan tersebut. Hampir 50 persen mobil baru yang terjual di AS diproduksi di luar negeri, dan 30 hingga 60 persen suku cadangnya diimpor.
Beberapa produsen mobil telah berupaya mengurangi dampak negatif kebijakan ini. Volvo misalnya, berencana meningkatkan produksi lokal di AS. Honda juga akan memindahkan produksi Civic Hybrid ke dalam negeri.
Strategi Thailand Menghadapi Tantangan
Untuk menghadapi dampak negatif kebijakan tarif impor, Thailand perlu mengambil langkah-langkah strategis. Diversifikasi pasar ekspor menjadi kunci utama untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Penguatan sektor industri dalam negeri juga penting untuk meningkatkan daya saing dan mengurangi ketergantungan pada impor. Hal ini membutuhkan investasi dan inovasi teknologi yang berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah Thailand perlu meningkatkan kerjasama dengan negara-negara lain untuk menciptakan pasar alternatif dan mengurangi risiko ketergantungan pada satu pasar utama. Diplomasi ekonomi yang aktif dan strategis sangat diperlukan.
- Meningkatkan kualitas produk ekspor untuk meningkatkan daya saing di pasar global.
- Mengembangkan inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri.
- Memperkuat kerjasama dengan negara-negara ASEAN untuk menciptakan pasar regional yang lebih kuat.
Dampak kebijakan tarif impor Trump terhadap Thailand menunjukkan betapa pentingnya diversifikasi ekonomi dan strategi mitigasi risiko. Ke depan, Thailand perlu memperkuat ketahanan ekonominya agar tidak terlalu rentan terhadap kebijakan proteksionis negara lain. Investasi dalam riset dan pengembangan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, menjadi kunci untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.