Kejagung Ungkap 3 Tersangka Korupsi Proyek Kemhan: Peran Mereka?

Redaksi

Kejagung Ungkap 3 Tersangka Korupsi Proyek Kemhan: Peran Mereka?
Sumber: Pikiran-rakyat.com

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap peran tiga tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan terminal pengguna satelit orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2016. Kasus ini melibatkan kerugian negara yang signifikan dan menyingkap praktik-praktik penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kemhan. Tiga tersangka tersebut kini menghadapi tuntutan hukum atas perannya dalam skandal ini.

Kejagung mendetailkan bagaimana skema korupsi ini berjalan, mulai dari penandatanganan kontrak hingga dampak kerugian yang diderita negara. Proses hukum terus berlanjut, dengan Kejagung berkomitmen untuk mengungkap seluruh jaringan dan mengembalikan kerugian negara.

Tiga Tersangka dan Peran Mereka dalam Kasus Korupsi

Tiga individu telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan dan pejabat pembuat komitmen (PPK); Anthony Thomas Van Der Hayden, Tenaga Ahli Satelit Kementerian Pertahanan; dan Gabor Kuti, CEO Navayo International AG. Ketiganya diduga terlibat dalam berbagai tahapan skandal korupsi ini.

Leonardi, sebagai PPK, menandatangani kontrak dengan Gabor Kuti pada 1 Juli 2016. Nilai kontrak awalnya sebesar 34.194.300 dolar AS, kemudian direvisi menjadi 29.900.000 dolar AS.

Kontrak tersebut ditandatangani tanpa adanya anggaran dari Kemhan. Proses pengadaan barang dan jasa pun dilanggar. Navayo International AG, perusahaan yang memenangkan proyek, direkomendasikan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden tanpa melalui proses tender yang seharusnya.

Proses Pengadaan yang Bermasalah dan Klaim Navayo

Penunjukan Navayo International AG sebagai penyedia barang dan jasa dilakukan secara tidak transparan. Hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Proses tersebut seharusnya mengikuti aturan yang berlaku dan terbuka bagi banyak peserta.

Setelah penandatanganan kontrak, Navayo International AG mengklaim telah mengirimkan barang dan program kepada Kemhan. Klaim tersebut didukung oleh empat sertifikat kinerja (Certificate of Performance/CoP). Sertifikat-sertifikat ini disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden dan Gabor Kuti tanpa melalui verifikasi barang yang dikirim.

Kemhan menerima CoP tersebut yang kemudian digunakan sebagai dasar penagihan oleh Navayo International AG. Meskipun telah menandatangani CoP, Kemhan ternyata tidak memiliki anggaran untuk membayar hingga tahun 2019. Hal ini menunjukkan adanya upaya manipulasi dan ketidakjelasan dalam pengelolaan anggaran.

Pemeriksaan dan Kerugian Negara

Hasil pemeriksaan laboratorium atas sampel barang yang dikirim Navayo International AG mengungkap fakta mengejutkan. Dari 550 unit ponsel yang dikirim, 550 unit ternyata bukan ponsel satelit dan tidak memiliki secure chip sesuai spesifikasi teknis kontrak. Ini menunjukkan adanya penyimpangan kualitas barang yang sangat signifikan.

Selain itu, hasil pendalaman ahli satelit juga menemukan bahwa Navayo International AG tidak mampu membangun program terminal pengguna sebagaimana yang diklaim. Kegagalan ini semakin memperkuat dugaan adanya penipuan dan pemalsuan data dalam proyek tersebut.

Akibat perbuatan melawan hukum ini, Kemhan terpaksa membayar 20.862.822 dolar AS berdasarkan putusan Arbitrase Singapura. BPKP menghitung kerugian negara mencapai 21.384.851,89 dolar AS. Seluruh proses ini menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat dalam proyek pemerintah untuk mencegah kerugian negara dan memastikan penggunaan anggaran yang transparan dan akuntabel. Ketiga tersangka dijerat dengan pasal-pasal korupsi yang berat.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP. Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Proses hukum yang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Semoga kasus ini dapat menjadi momentum untuk perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa di Indonesia.

Also Read

Tags

Topreneur