Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluncurkan program kontroversial yang mengirim siswa “nakal” ke barak militer untuk pelatihan kedisiplinan. Program ini dimulai Jumat, 2 Mei 2025, melibatkan 80 siswa di Rindam III/Siliwangi dan 40 siswa di Menarmed 1 Kostrad Purwakarta. Rencananya, program ini akan diperluas ke seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat. Siswa akan menjalani pembinaan selama 6 bulan hingga 1 tahun.
Langkah ini menuai pro dan kontra. Banyak yang mempertanyakan efektivitas metode ini dalam mengatasi akar masalah kenakalan remaja. Sementara itu, pemerintah daerah berpendapat program ini efektif membentuk karakter dan kedisiplinan siswa.
Dampak Negatif Kebijakan Penempatan Siswa Nakal di Barak Militer
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan siswa. Seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga, Farraas Afiefah Muhdiar, menyoroti beberapa poin penting yang perlu diperhatikan.
Program ini berpotensi hanya mengatasi gejala, bukan akar masalah. Banyak perilaku menyimpang remaja berakar dari masalah emosional, keluarga, atau lingkungan. Tanpa pendekatan psikologis yang komprehensif, program ini dikhawatirkan hanya mengubah perilaku lahiriah, sementara masalah inti tetap ada. Perubahan perilaku yang bersifat sementara juga menjadi perhatian.
Masalah Akar yang Tak Terselesaikan
Metode ini dinilai kurang efektif karena tidak menangani akar penyebab kenakalan siswa. Farraas menganalogikannya sebagai “plester” yang menutupi luka, tanpa mengobati luka itu sendiri. Perilaku nakal yang muncul kembali setelah siswa kembali ke lingkungan semula menjadi kekhawatiran utama.
Kurangnya Kesadaran Siswa
Salah satu kunci mendisiplinkan anak adalah kesadaran akan kesalahannya, bukan sekadar rasa takut. Program ini berpotensi menimbulkan rasa takut dan hukuman, bukan pemahaman dan kesadaran. Hal ini akan membuat perubahan perilaku sulit bertahan dalam jangka panjang.
Perubahan Disiplin yang Sementara
Siswa yang menjalani program ini karena dipaksa, bukan karena kesadaran, cenderung tidak akan menerapkan kedisiplinan setelah kembali ke lingkungan asalnya. Pembinaan lebih lanjut di luar lingkungan militer sangat krusial untuk keberhasilan program ini. Tanpa dukungan dan pengawasan konsisten, perubahan perilaku yang dicapai kemungkinan besar hanya bersifat sementara.
Alternatif Pendekatan yang Lebih Holistik
Untuk mengatasi kenakalan remaja, pendekatan yang lebih holistik sangat diperlukan. Metode ini harus mencakup pemahaman menyeluruh terhadap akar masalah, penanganan psikologis yang tepat, dan pembinaan berkelanjutan yang melibatkan keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar.
Program yang berfokus pada pengembangan kemampuan sosial-emosional, penyelesaian konflik, dan penguatan keterampilan hidup akan lebih efektif dalam membentuk karakter positif. Lingkungan yang suportif dan pemahaman empati dari orang tua dan guru sangat penting dalam proses perbaikan perilaku anak.
Pentingnya Kolaborasi Antar Pihak
Kesuksesan dalam mengatasi kenakalan remaja membutuhkan kerja sama yang erat antara berbagai pihak. Sekolah, keluarga, pemerintah daerah, dan ahli psikologi perlu berkolaborasi untuk menciptakan solusi yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Program intervensi dini, konseling, dan terapi keluarga dapat membantu mengatasi masalah dari akarnya. Penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi siswa, sehingga mereka merasa didengar, dipahami, dan didukung dalam proses perubahan perilaku.
Kesimpulannya, program pengiriman siswa nakal ke barak militer patut dipertanyakan efektivitas dan dampak jangka panjangnya. Pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik, dengan fokus pada pemahaman akar masalah dan dukungan berkelanjutan, lebih diyakini akan memberikan hasil yang lebih baik dan berkelanjutan dalam membentuk karakter siswa. Kolaborasi antar pihak yang relevan menjadi kunci keberhasilan strategi tersebut.