Kota Kemanusiaan Israel di Gaza: Kedok Kemanusiaan atau Kamp Konsentrasi Modern?

Redaksi

Kota Kemanusiaan Israel di Gaza: Kedok Kemanusiaan atau Kamp Konsentrasi Modern?
Sumber: CNNIndonesia.com

Israel kembali menuai kecaman internasional atas rencana pembangunan “Kota Kemanusiaan” di Jalur Gaza. Rencana kontroversial ini diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, pada 7 Juli lalu, dan digambarkan oleh banyak pihak sebagai mirip kamp konsentrasi.

Rencana tersebut melibatkan pembangunan zona tertutup di selatan Jalur Gaza, yang akan berlaku jika gencatan senjata antara Israel dan Hamas tercapai. Zona ini diproyeksikan untuk menampung setidaknya 600.000 warga Gaza. Distribusi bantuan kemanusiaan akan diatur melalui empat titik distribusi di bawah pengawasan organisasi internasional.

Kota Kemanusiaan ini merupakan tindak lanjut dari usulan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza ke negara ketiga. Usulan ini muncul awal tahun ini, sebagai bagian dari proposal rekonstruksi Jalur Gaza pasca agresi brutal Israel sejak Oktober 2023. Trump mengusulkan relokasi setidaknya 2 juta warga Gaza dengan alasan untuk memberi mereka kehidupan yang lebih baik.

Katz menegaskan bahwa Kota Kemanusiaan, yang kemungkinan akan dibangun di Rafah, akan bebas dari pengaruh Hamas dan dikelola oleh “pasukan internasional,” bukan Israel. Namun, yang mengejutkan adalah rencana untuk membatasi pergerakan warga di dalam zona tersebut. Mereka tidak akan diperbolehkan keluar sesuka hati.

Tujuan Politik di Balik Rencana “Kota Kemanusiaan”

Menteri Israel lainnya, Zeev Elkin, secara terang-terangan menyatakan bahwa skema ini bertujuan untuk melemahkan Hamas. Pernyataan Elkin: “Semakin kita memisahkan Hamas dari populasi (warga Gaza), semakin cepat Hamas akan kalah. Selama Hamas mengontrol makanan, air, dan uang, mereka bisa terus merekrut militan.” Pernyataan ini mengungkap motif politik di balik rencana kemanusiaan tersebut.

Rencana ini telah memicu kecaman keras dari berbagai pihak. Banyak yang melihatnya sebagai upaya untuk mengendalikan penduduk Gaza dan melemahkan Hamas secara sistematis, bukan sebagai solusi kemanusiaan yang tulus. Kritik ini diperkuat oleh fakta bahwa warga akan dibatasi pergerakannya di dalam zona tersebut.

Kecaman Keras dari Dalam Negeri dan Internasional

Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menyebut rencana ini sebagai “kamp konsentrasi” jika warga Palestina tidak diizinkan untuk keluar. Peringatan Lapid ini selaras dengan pernyataan mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, yang secara gamblang menyebutnya sebagai “kamp konsentrasi”. Olmert juga memperingatkan bahwa jika rencana tersebut diimplementasikan, dapat dikategorikan sebagai “bagian dari pembersihan etnis”.

Pernyataan Olmert kepada The Guardian: “Jika mereka [warga Palestina] akan dideportasi ke dalam ‘Kota Kemanusiaan’ baru itu, maka Anda bisa mengatakan bahwa ini adalah bagian dari pembersihan etnis. Belum terjadi, tapi jika mereka membangun kamp untuk ‘membersihkan’ lebih dari separuh Gaza, maka tak ada pemahaman lain dari strategi ini selain untuk mendorong dan membuang mereka.” Pernyataan tegas ini menunjukkan keprihatinan serius terhadap implikasi kemanusiaan dan etika dari rencana tersebut.

Agresi Israel sejak Oktober 2023 telah mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar. Data Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 58.026 orang tewas dan 138.520 lainnya luka-luka. Tragedi kemanusiaan ini semakin diperparah dengan rencana pembangunan “Kota Kemanusiaan” yang kontroversial ini.

Konteks sejarah konflik Israel-Palestina juga harus dipertimbangkan. Rencana ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang. Perlu adanya investigasi internasional yang independen dan transparan untuk menyelidiki rencana ini dan memastikan perlindungan warga sipil di Gaza.

Berbagai organisasi internasional dan kelompok HAM internasional juga telah mendesak agar rencana ini dibatalkan, menyatakan keprihatinan akan dampaknya terhadap warga sipil Palestina. Mereka menekankan perlunya solusi damai dan berkelanjutan yang menghormati hak-hak asasi manusia semua pihak.

Kesimpulannya, rencana “Kota Kemanusiaan” Israel di Gaza menimbulkan kontroversi besar dan dikecam luas. Rencana ini dikritik bukan hanya karena kemiripannya dengan kamp konsentrasi, tetapi juga karena motif politik yang mendasarinya dan potensinya untuk melanggar hak asasi manusia. Solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik Israel-Palestina membutuhkan pendekatan yang berbeda, yang memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat.

Also Read

Tags

Topreneur