Topreneur – Industri nikel Indonesia tengah berada di bawah sorotan tajam. Bukan hanya Amerika Serikat (AS) yang menuding praktik kerja paksa, media China pun ikut mengungkap fakta mengejutkan di balik pabrik smelter nikel di Tanah Air.
Laporan terbaru Departemen Tenaga Kerja AS mengenai "Global State of Child and Forced Labour" secara gamblang mencantumkan nikel Indonesia sebagai produk dari praktik eksploitatif. Hal ini pun diangkat oleh media asing asal Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), yang mengungkap hasil laporan tersebut.
"Kerja paksa mencemari rantai pasok mineral penting, termasuk aluminium dan polisilikon dari China, nikel dari Indonesia, dan kobalt, tantalum, dan timah dari Republik Demokratik Kongo," ujar Wakil Menteri Urusan Perburuhan Internasional Thea Lee dalam konferensi pers pada 5 September lalu.
Laporan setebal 330 halaman itu menyorot penderitaan pekerja China yang direkrut secara curang di pabrik peleburan nikel di Indonesia. Laporan tersebut mengungkap isu-isu seperti pemotongan gaji secara sewenang-wenang, jam kerja yang lebih panjang, penyitaan paspor, dan kekerasan fisik dan verbal sebagai hukuman.
"Indikator lain dari kerja paksa termasuk pembatasan pergerakan, isolasi, pengawasan terus-menerus, dan kerja lembur yang dipaksakan, semuanya dilaporkan merupakan praktik umum dalam produksi nikel," tulis laporan tersebut.
Sebelumnya, Departemen Luar Negeri AS telah mengidentifikasi penipuan perekrutan pekerja China oleh perusahaan pertambangan nikel yang berafiliasi dengan China’s Belt and Road Initiative di Indonesia sebagai bentuk perdagangan manusia dalam laporan Perdagangan Manusia untuk tahun 2022 dan 2023.
Laporan tahun lalu menemukan bahwa dari 333 pekerja China yang disurvei, hanya 27% yang memiliki izin kerja yang sah, sementara 23% melaporkan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan tempat kerja mereka, dan tujuh pekerja meninggal di tempat kerja tanpa penjelasan.
"Laporan AS ini seharusnya peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengawasan terhadap pabrik peleburan nikel yang sudah beroperasi maupun yang baru," tegas Hilman Palaon, peneliti di Indo-Pacific Development Centre Lowy Institute di Australia.
Meskipun tidak ada dampak hukum atau peraturan langsung dari temuan ini, laporan Departemen Tenaga Kerja AS dianggap sebagai sumber resmi yang mempengaruhi kebijakan dan keputusan bisnis.
"Dimasukkannya nikel Indonesia dalam laporan ini dapat membahayakan ambisi Indonesia untuk mendapatkan peran penting dalam rantai pasokan mineral penting Amerika," tambah Palaon.
Aktivis buruh dan lingkungan hidup mengkritik pabrik peleburan nikel milik China di Indonesia karena standar kesehatan dan keselamatan yang buruk. Para pekerja telah mengajukan banyak keluhan tetapi hanya menerima sedikit tanggapan.
Zakki Amali, manajer penelitian di Trend Asia, sebuah organisasi yang berbasis di Jakarta yang mengadvokasi perekonomian yang lebih hijau, mengatakan bahwa laporan Departemen Tenaga Kerja akan "membuat pembeli nikel di AS lebih sadar akan nikel berdarah dari Indonesia".
Praktik kerja paksa di pabrik smelter nikel Indonesia ini menjadi sorotan serius, mengancam reputasi Indonesia di mata dunia dan berpotensi menghambat akses ke pasar global. Pemerintah Indonesia dituntut untuk segera mengambil langkah tegas dan transparan untuk mengatasi permasalahan ini.