Populi Center: Gabung UU Pemilu-Pilkada? Sederhana, Efektif, dan Demokratis

Redaksi

Usulan penggabungan Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada kembali mengemuka. Langkah ini dinilai sebagai solusi efektif untuk menyederhanakan regulasi dan mempermudah pemahaman aturan penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Para ahli berpendapat, harmonisasi regulasi ini akan meningkatkan efisiensi dan transparansi proses pemilu.

Peneliti politik dari Populi Centre, Usep Saiful Ahyar, menganggap penggabungan kedua UU tersebut sangat penting. Menurutnya, hal ini akan menciptakan sistem hukum pemilu yang lebih terintegrasi dan mudah dipahami.

Kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada: Solusi Sederhanakan Regulasi

Usep menekankan pentingnya kodifikasi, yaitu proses menyatukan materi hukum yang terkait dalam satu undang-undang. Hal ini akan mengatasi tumpang tindih regulasi antara UU Pemilu dan UU Pilkada.

Saat ini, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 telah mengintegrasikan KPU dan Bawaslu. Namun, UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 masih berdiri sendiri, padahal penyelenggara pemilukada tetap KPU. Penggabungan ini, menurut Usep, akan menciptakan keselarasan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu.

Ia menjelaskan, kodifikasi berbeda dengan omnibus law. Kodifikasi fokus pada penggabungan materi hukum terkait, sementara omnibus law bertujuan merevisi banyak UU sekaligus. Omnibus law, menurutnya, berpotensi menimbulkan kekhawatiran akan perubahan yang terlalu luas dan tidak terukur.

Manfaat Penggabungan UU Pemilu dan Pilkada

Penggabungan UU Pemilu dan UU Pilkada diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilu.

Dengan sistem yang lebih terpadu, proses penyusunan anggaran, perencanaan, dan pelaksanaan pemilu akan menjadi lebih mudah dikoordinasikan. Ini juga akan mengurangi potensi konflik dan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penyelenggara pemilu.

Selain itu, penggabungan ini akan mempermudah publik dalam memahami regulasi pemilu. Aturan yang lebih sederhana dan terpadu akan meningkatkan partisipasi masyarakat dan transparansi proses demokrasi.

Usulan Jarak Pelaksanaan Pemilu Nasional dan Lokal

Usep juga mengusulkan agar pemilu nasional (DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden) dan pemilu lokal (DPRD dan kepala daerah) dipisahkan dengan jarak waktu sekitar 2,5 tahun.

Jarak waktu tersebut, menurutnya, penting untuk mekanisme kontrol dan evaluasi kinerja pemerintah. Rakyat dapat menggunakan hasil evaluasi tersebut sebagai pertimbangan dalam memilih pada pemilu lokal berikutnya.

Dengan pemisahan waktu ini, tanggung jawab dan akuntabilitas pemerintah akan semakin jelas. Masyarakat memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menilai kinerja pemerintah sebelum kembali ke pemilihan berikutnya.

Secara keseluruhan, usulan penggabungan UU Pemilu dan UU Pilkada serta pengaturan jarak waktu pemilu nasional dan lokal merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Dengan regulasi yang lebih sederhana dan terpadu, diharapkan penyelenggaraan pemilu akan lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

Sistem yang lebih efektif ini akan memperkuat partisipasi masyarakat dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Hal ini akan memberikan kontribusi penting bagi kemajuan dan stabilitas politik bangsa.

Also Read

Tags

Topreneur