Rahasia Dokter Kandungan Pria: POGI Jelaskan Penyebabnya

Redaksi

Kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) di Garut, Jawa Barat, baru-baru ini menjadi sorotan publik dan ramai diperbincangkan di media sosial. Kasus ini memicu pertanyaan dari banyak pihak, terutama terkait dominasi dokter laki-laki dalam spesialisasi kandungan.

Banyak yang mempertanyakan mengapa bidang kesehatan reproduksi perempuan, yang secara alami dekat dengan perempuan, justru didominasi oleh tenaga medis pria. Perdebatan ini mendorong kita untuk melihat lebih dalam mengenai komposisi gender dalam profesi SpOG di Indonesia.

Rasio Dokter SpOG Pria dan Wanita di Indonesia

Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof. Dr. dr. Yudi Mulyana Hidayat, SpOG, menjelaskan bahwa saat ini terjadi peningkatan signifikan jumlah dokter SpOG perempuan.

Rasio antara dokter SpOG perempuan dan laki-laki kini hampir seimbang, yaitu sekitar 2 banding 3. Ini menunjukkan kemajuan yang cukup pesat dibandingkan beberapa tahun lalu.

Sebelumnya, profesi SpOG memang didominasi laki-laki dengan rasio yang jauh lebih timpang, sekitar 1 perempuan berbanding 3 laki-laki.

“Dari tahun ke tahun rasio ini mulai berimbang antara SpOG pria dan wanita,” ujar Prof. Yudi saat dihubungi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Spesialisasi

Prof. Yudi menyebutkan beberapa faktor yang mungkin menjelaskan mengapa sebelumnya profesi SpOG lebih banyak dipilih laki-laki.

Salah satu faktornya adalah tuntutan pekerjaan yang berat, terutama berkaitan dengan tindakan bedah yang kompleks dan menuntut stamina tinggi.

Profesi ini juga membutuhkan mental yang kuat karena dokter SpOG harus mampu menangani situasi stres yang tinggi, terutama dalam menyelamatkan dua nyawa sekaligus, yaitu ibu dan bayi.

Pendidikan profesi dokter spesialis (PPDS) juga membutuhkan dedikasi dan stamina yang ekstra, hal ini mungkin menjadi pertimbangan bagi beberapa dokter perempuan.

Tantangan Setelah Pendidikan

Selain tuntutan selama pendidikan, Prof. Yudi juga menyinggung tantangan setelah lulus pendidikan.

Dokter SpOG dituntut siap siaga 24 jam, termasuk menangani operasi-operasi yang panjang dan kompleks, seperti operasi tumor dan kanker.

Beban kerja yang berat dan tuntutan jam kerja yang fleksibel ini mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat beberapa dokter perempuan kurang tertarik dengan spesialisasi ini.

“Itu mungkin banyak dokter wanita yang kurang berminat,” tambahnya.

Kesimpulan: Menuju Kesetaraan Gender di Bidang Kebidanan

Meskipun masih ada tantangan, peningkatan jumlah dokter SpOG perempuan menunjukkan tren positif menuju kesetaraan gender dalam bidang kebidanan. Perubahan ini penting tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan reproduksi perempuan, tetapi juga untuk memberikan perspektif yang lebih seimbang dan holistik dalam praktik kedokteran.

Upaya untuk mengurangi beban kerja dan meningkatkan dukungan bagi dokter SpOG, baik laki-laki maupun perempuan, perlu terus dilakukan agar pelayanan kesehatan reproduksi dapat diberikan secara optimal dan berkeadilan. Penting pula untuk terus mendorong minat perempuan untuk menekuni profesi SpOG melalui berbagai program dan kebijakan yang mendukung.

Also Read

Tags

Topreneur