Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, untuk mengevaluasi seluruh izin konsesi pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menekankan pentingnya evaluasi yang adil dan transparan, tanpa pilih kasih.
Desakan ini muncul menyusul tindakan Kementerian ESDM yang hanya menindak satu perusahaan tambang nikel, PT Gag Nikel, sementara perusahaan lain yang juga diduga melakukan pelanggaran tetap beroperasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran dari berbagai pihak terkait kelestarian lingkungan Raja Ampat.
Pengawasan Ketat Izin Tambang di Raja Ampat
Evita Nursanty menyatakan keprihatinannya atas dampak potensial pertambangan nikel terhadap ekosistem Raja Ampat. Ia menegaskan perlunya tindakan tegas terhadap perusahaan tambang yang merusak lingkungan, tanpa terkecuali.
Raja Ampat, sebagai destinasi wisata kelas dunia dan UNESCO Global Geopark, memiliki ekosistem laut yang sangat rapuh. Aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Kawe, Manuran, dan Batangpele – yang termasuk dalam kawasan Geopark dan rencana pengembangan pariwisata – berpotensi merusak keindahan dan kelestarian alamnya.
Pelanggaran Undang-Undang dan Ancaman Ekosistem
Menurut Evita, aktivitas pertambangan nikel di pulau-pulau kecil di Raja Ampat jelas melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut melarang penambangan di pulau-pulau kecil yang rawan terhadap kerusakan lingkungan.
Geopark Raja Ampat, seluas kurang lebih 36.660 km², merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati laut. 75 persen spesies karang global dan lebih dari 1.600 jenis ikan hidup di wilayah ini. Keberadaan pertambangan mengancam kelangsungan hidup ekosistem yang unik dan berharga ini.
Peran Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat
Komisi VII DPR RI telah bertemu dengan Gubernur Papua Barat Daya dan para Bupati, termasuk Bupati Raja Ampat, serta masyarakat setempat. Pertemuan ini bertujuan untuk menyerap aspirasi terkait dampak pertambangan terhadap pariwisata, khususnya setelah ditetapkannya Raja Ampat sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN).
Dari pertemuan tersebut, terungkap keresahan masyarakat dan pemerintah daerah yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pemberian izin tambang. Kurangnya komunikasi antara perusahaan tambang dan pemerintah daerah menimbulkan berbagai isu hukum, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan.
Pemerintah daerah mengeluhkan minimnya keterlibatan dalam proses perizinan tambang. Hal ini berpotensi meningkatkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan ketimpangan dalam penerimaan daerah, bahkan memicu konflik sosial karena minimnya konsultasi publik.
Evita menekankan pentingnya revisi regulasi teknis agar pemerintah daerah dilibatkan dalam evaluasi izin dan proses konsultasi publik ditingkatkan sebelum izin diberikan. Hal ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan pariwisata dan kesejahteraan masyarakat Raja Ampat.
Keberadaan pertambangan di Raja Ampat berpotensi menghambat pembangunan pariwisata berkelanjutan. Hal ini harus dihindari agar tidak merugikan Raja Ampat, Papua Barat Daya, Papua, dan Indonesia secara keseluruhan. Kepentingan jangka panjang harus diutamakan daripada keuntungan sesaat dari beberapa perusahaan tambang.
Komisi VII DPR RI mendorong adanya kesamaan visi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di Raja Ampat. Ego sektoral harus dihindari agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.
Sebagai penutup, perlu ditekankan kembali pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Raja Ampat. Evaluasi menyeluruh terhadap izin pertambangan dan peningkatan partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan merupakan kunci keberhasilan dalam menjaga kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat Raja Ampat untuk generasi mendatang.