Aktivitas penambangan nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat dihentikan sementara oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, pada 5 Juni 2025. Keputusan ini merespon kekhawatiran publik yang meluas terkait dampak lingkungan di kawasan biodiversitas ikonik tersebut.
Pengamat maritim, Marcellus Hakeng Jayawibawa, menilai penghentian sementara ini sebagai titik balik penting dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Ia menekankan perlunya pertimbangan yang lebih seimbang antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Penghentian Sementara: Sebuah Titik Balik?
Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai keputusan ini sebagai refleksi dari konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi lewat hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup Raja Ampat.
Ia berharap penghentian ini berlanjut menjadi penghentian total. Keputusan ini menunjukkan kesadaran pemerintah akan urgensi perlindungan lingkungan di kawasan bernilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat.
Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati Raja Ampat
Raja Ampat, sebagai kawasan geopark global UNESCO, menyimpan 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kerusakan Raja Ampat akibat pertambangan akan menjadi kerugian global, bukan hanya bagi Papua Barat Daya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang eksploitasi tambang di pulau kecil. Namun, realitanya penambangan tetap berjalan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran.
Laporan Greenpeace menunjukkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag akibat aktivitas pertambangan. Sedimentasi yang mencemari laut merusak terumbu karang dan ekosistem laut, mengancam kehidupan masyarakat sekitar.
Jika dibiarkan, Raja Ampat berisiko kehilangan status geopark-nya. Kegagalan Indonesia melindungi warisan alam ini akan berdampak buruk pada reputasi internasional negara.
Pentingnya Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)
Penghentian proyek tambang di Raja Ampat menjadi ujian komitmen pemerintah terhadap paradigma ekonomi yang berkelanjutan secara ekologis.
Prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) harus diutamakan. Masyarakat adat harus menjadi subjek utama pengambilan keputusan, bukan hanya objek yang terdampak.
Lemahnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menjadi masalah besar. Transparansi dalam proses AMDAL dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sangat penting.
Tanpa keterlibatan publik dan pengawasan independen, AMDAL hanya menjadi formalitas belaka. Ketidaktegasan penegakan hukum lingkungan, tumpang tindih perizinan, dan pengawasan yang lemah menjadi akar masalah yang berulang.
Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk membangun kebijakan yang adil dan berkelanjutan secara ekologis dan sosial. Pemerintah perlu belajar dari kesalahan masa lalu dan memperbaiki tata kelola sumber daya alam yang lebih baik.
Dengan menghentikan sementara aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Indonesia menunjukkan langkah awal menuju pengelolaan sumber daya alam yang lebih bertanggung jawab. Namun, konsistensi dalam penegakan hukum dan keterlibatan masyarakat adat tetap krusial untuk memastikan kelestarian lingkungan dan keadilan sosial.