Rencana Kota Kemanusiaan Israel: Jebakan Baru bagi Gaza?

Redaksi

Rencana Kota Kemanusiaan Israel: Jebakan Baru bagi Gaza?
Sumber: CNNIndonesia.com

Pemerintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berencana membangun “Humanitarian City” di Rafah, wilayah Palestina. Rencana ini memicu kecaman internasional, termasuk dari PBB dan oposisi Israel. Banyak pihak menilai rencana ini sebagai upaya pengusiran paksa warga Palestina.

Proposal pembangunan Humanitarian City diajukan oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung Amerika Serikat. Proposal tersebut menyebutkan warga Palestina akan tinggal sementara di kota baru ini, menjalani proses deradikalisasi, dan berintegrasi kembali sebelum akhirnya dipindahkan jika mereka menginginkannya. Namun, kritik bermunculan, menuduh rencana ini sebagai upaya untuk memindahkan warga Palestina secara paksa.

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menjelaskan bahwa warga Palestina akan ditempatkan di zona baru yang disebut Humanitarian City di Rafah, wilayah yang telah mengalami kerusakan parah akibat konflik. Ia menegaskan bahwa semua warga Palestina dapat memasuki Humanitarian City, tetapi tidak dapat meninggalkannya. Pemeriksaan ketat akan diberlakukan bagi mereka yang ingin masuk.

Katz juga menyatakan bahwa 600.000 warga Palestina di pesisir Al Mawasi akan dipaksa pindah ke Rafah dalam waktu 60 hari setelah gencatan senjata. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa seluruh penduduk Gaza, yang berjumlah lebih dari 2 juta orang, akan dipindahkan ke kota buatan tersebut. Namun, ia menambahkan bahwa rencana ini tidak akan dijalankan oleh militer Israel, melainkan oleh badan-badan internasional, tanpa memberikan detail lebih lanjut.

Militer Israel memperkirakan pembangunan kota ini akan memakan waktu beberapa bulan bahkan satu tahun. Mereka khawatir proyek ini akan menghambat tercapainya tujuan utama mereka di Gaza. Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh pernyataan berbagai pihak yang mengecam rencana tersebut.

Kamp Konsentrasi: Sebuah Tuduhan Berat

Eks Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, mengecam rencana ini dengan keras. Ia menyebutnya sebagai upaya penahanan warga Palestina dalam kamp konsentrasi dan sebagai bagian dari pembersihan etnis. “Itu kamp konsentrasi. Saya minta maaf. Jika mereka bisa dideportasi ke Humanitarian City, maka Anda bisa ini bagian dari pembersihan etnis,” tegasnya.

Yair Lapid, pemimpin oposisi Israel, juga turut mengkritik rencana tersebut. Ia memprediksi biaya pembangunan Humanitarian City akan jauh lebih besar dari yang dilaporkan, lebih dari US$4 miliar. Ia menyerukan agar Israel mengakhiri agresi dan memulangkan sandera yang masih ditahan.

Michael Sfard, seorang pengacara hak asasi manusia di Israel, menyebut rencana ini sebagai pemindahan paksa penduduk dan mempersiapkan deportasi, keduanya merupakan kejahatan perang. Ia menekankan bahwa jika dilakukan dalam skala besar, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia juga membantah klaim pejabat sayap kanan Israel bahwa pemindahan ini akan dilakukan secara sukarela.

Konflik antara Israel dan Palestina telah mengakibatkan lebih dari 58.000 korban jiwa dan ratusan ribu rumah hancur sejak Oktober 2023. Seruan gencatan senjata permanen terus bergema di komunitas internasional, namun hingga kini belum terlaksana. Bahkan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengajukan usulan yang dinilai berpotensi mengusir warga Palestina dari tanah air mereka.

Rencana pembangunan Humanitarian City menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran. Proyek ini dikritik sebagai bentuk diskriminasi dan pemindahan paksa, yang bertentangan dengan hukum internasional. Perlu adanya pengawasan internasional yang ketat untuk mencegah terjadinya kejahatan kemanusiaan.

Selain itu, kurangnya transparansi dalam rencana ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran sebenarnya dari badan-badan internasional yang akan terlibat. Siapa yang akan mendanai proyek ini? Bagaimana mekanisme pengawasan dan akuntabilitasnya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab untuk memastikan bahwa rencana ini tidak digunakan sebagai alat untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Ke depan, perlu adanya solusi damai dan adil untuk konflik Israel-Palestina yang menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional. Pembangunan Humanitarian City, dalam bentuknya saat ini, tampaknya justru akan memperburuk situasi dan memperparah penderitaan warga Palestina.

Also Read

Tags

Topreneur