Sistem Rusak: Jebakan Korupsi yang Menjerat Pemuda

Redaksi

Sistem Rusak: Jebakan Korupsi yang Menjerat Pemuda
Sumber: Kompas.com

Di Indonesia, munculnya tokoh muda dalam kancah politik seringkali disambut gembira. Mereka dianggap sebagai simbol harapan, membawa energi baru dan gagasan segar untuk memberantas korupsi.

Namun, realita seringkali menyakitkan. Banyak harapan pupus ketika para pemuda ini terjerat sistem yang sudah mapan dan penuh jebakan.

Kasus Nur Afifah Balqis (NAB), yang ditangkap KPK di usia 24 tahun, menjadi contoh pahitnya kenyataan ini. Ia menjadi simbol kegagalan regenerasi politik yang bersih.

Operasi Tangkap Tangan dan Harapan yang Pupus

Penangkapan NAB dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK terkait kasus suap Bupati Penajam Paser Utara tahun 2022, merupakan pukulan telak bagi idealisme. Harapan akan regenerasi kepemimpinan yang bersih sirna seketika.

Kasus ini membuktikan bahwa korupsi bukan hanya masalah generasi tua. Ini adalah penyakit sistemik yang menginfeksi siapa saja, termasuk generasi muda.

Kegagalan NAB mencerminkan kegagalan bangsa dalam menciptakan lingkungan politik yang kondusif bagi integritas. Ini bukanlah kasus tunggal, melainkan alarm bahaya korupsi yang semakin masif dan sistemik.

Sistem Patronase dan Rasionalitas yang Cacat

Untuk memahami mengapa NAB terjerat korupsi, kita tak bisa hanya menyalahkan individu. Perlu dilihat dari perspektif sistemik yang lebih luas.

NAB beroperasi dalam sistem patron-klien yang kuat, di mana bupati sebagai patron mendistribusikan sumber daya untuk membeli loyalitas.

Dalam sistem ini, korupsi menjadi pilihan rasional. Biaya menolak jauh lebih besar daripada risiko berkompromi. Menolak perintah atasan sama dengan bunuh diri politik.

Teori Anomie Merton menjelaskan hal ini. Ketimpangan antara tujuan material dengan cara yang sah untuk mencapainya melahirkan pragmatisme akut. Jalan pintas menjadi pilihan utama.

Krisis keteladanan memperparah masalah. Generasi NAB tumbuh menyaksikan koruptor senior mendapat hukuman ringan dan kembali ke jabatan publik.

Penjara bukan lagi momok, melainkan risiko bisnis yang dapat dihitung. Kondisi ini semakin memperkuat budaya permisif terhadap korupsi.

Memutus Rantai Regenerasi Korupsi: Upaya Transformatif

Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK dan analisis Universitas Airlangga (2025) menunjukkan korupsi telah menjadi budaya yang dinormalisasi. Di sektor pengadaan barang dan jasa, korupsi dianggap “fungsional”.

Penegakan hukum saja tak cukup. Menghukum individu seperti NAB penting, tetapi tak menyelesaikan akar masalahnya. Perlu pembenahan sistem secara menyeluruh.

Intervensi hulu melalui pendidikan antikorupsi sejak dini sangat krusial. Di tingkat sistem, perlu penguatan mekanisme pencegahan.

  • Integrasi total e-Budgeting dan e-Procurement.
  • Analisis LHKPN yang proaktif.
  • Perlindungan penuh bagi pelapor (whistleblower).

Kepemimpinan yang berintegritas, sanksi hukum yang tegas, dan lembaga antikorupsi yang independen juga sangat penting. Kolaborasi lintas sektor mutlak diperlukan.

Namun, semua upaya ini akan sia-sia jika masyarakat masih permisif terhadap korupsi. Perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri.

Hanya dengan mengubah mentalitas dan sistem secara bersamaan, kita bisa memutus rantai regenerasi korupsi dan menciptakan Indonesia yang lebih bersih.

Also Read

Tags

Topreneur