Tambang batubara ilegal di Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, telah beroperasi sejak tahun 2016. Aktivitas ilegal ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan di lahan seluas 160 hektar, yang merupakan bagian dari kawasan Konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ibu Kota Nusantara (IKN). Kerusakan lingkungan ini diperkirakan menimbulkan kerugian negara hingga Rp 5,7 triliun.
Kasus ini terungkap berkat kerja sama Bareskrim Polri, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, Otorita IKN, Surveyor Indonesia, dan Polda Kalimantan Timur. Penyelidikan yang dilakukan mengungkap kronologi panjang operasi tambang ilegal ini dan para pelaku di baliknya.
Kerusakan Lingkungan dan Kerugian Negara yang Miliar Rupiah
Penambangan batubara ilegal di Bukit Soeharto telah berlangsung selama hampir satu dekade, dari tahun 2016 hingga 2024. Luas area yang rusak mencapai 160 hektar, termasuk wilayah Tahura IKN.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas penambangan ilegal ini sangat besar. Total kerugian negara mencapai Rp 5,7 triliun, terdiri dari deplesi batubara (Rp 3,5 triliun), kerusakan hutan (Rp 1,95 triliun), kerusakan penyerap karbon (Rp 137,87 miliar), dan biaya pengendalian erosi (Rp 121 miliar).
Kronologi Pengungkapan Kasus Tambang Ilegal
Tim penyelidik mendapatkan informasi dari masyarakat pada tanggal 23-27 Juni 2025 terkait aktivitas penambangan batubara ilegal di kawasan tersebut. Informasi ini kemudian diselidiki lebih lanjut untuk mengungkap jaringan pelaku.
Berdasarkan hasil penyelidikan, terungkap bahwa pembukaan lahan tambang dimulai pada tahun 2019 seluas 130 hektar dan meluas menjadi 160 hektar pada tahun 2024. Penambangan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mengingat luas kawasan IKN yang mencapai lebih dari 250 hektar menyulitkan pengawasan menyeluruh.
Tersangka dan Proses Hukum yang Berjalan
Tiga tersangka telah ditetapkan dalam kasus ini, yaitu YH, CH, dan MH. Mereka diduga terlibat dalam penambangan dan penjualan batubara ilegal dari kawasan Tahura Bukit Soeharto.
Batubara yang ditambang dikirim melalui Pelabuhan Kaltim Kariangau Terminal (KKT) menuju Pelabuhan Surabaya. Di Surabaya, batubara dikumpulkan di stockroom, dikemas, dan dimasukkan ke dalam kontainer sebelum dikirim ke berbagai tujuan.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 161 UU No 3 Tahun 2020, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 miliar. Barang bukti yang disita meliputi 351 kontainer, tujuh unit alat berat, dan sejumlah dokumen terkait. Penyelidikan masih terus berlanjut untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan oknum lain.
Proses hukum terus berjalan dan investigasi mendalam masih dilakukan untuk mengungkap seluruh jaringan dan potensi keterlibatan oknum di balik operasi tambang ilegal ini. Besarnya kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan menjadi perhatian serius bagi pihak berwenang. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan dan perlindungan kawasan konservasi. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.