Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyiratkan kemungkinan perubahan rezim di Iran setelah serangan Pentagon terhadap negara tersebut pada Minggu (22/6). Serangan tersebut melibatkan pengeboman tiga fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan menggunakan pesawat pengebom siluman B-2 dan bom GBU-57.
Pernyataan Trump yang kontroversial ini muncul melalui akun media sosial Truth miliknya. Ia mempertanyakan kelangsungan rezim Ayatollah Ali Khamenei, mengatakan, “Tidak tepat secara politik untuk menggunakan istilah ‘Perubahan Rezim’, tapi jika rezim Iran sekarang tidak mampu untuk *MAKE IRAN GREAT AGAIN* (membuat Iran hebat lagi), kenapa tidak akan ada perubahan rezim di sana? MIGA!” Pernyataan ini berbeda signifikan dengan pernyataan pejabat pemerintahannya yang lain.
Menariknya, pernyataan Trump ini bertolak belakang dengan pernyataan resmi dari beberapa pejabat pemerintahannya sendiri. Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, menyatakan secara tegas bahwa misi serangan terhadap Iran “bukan dan tidak akan pernah tentang perubahan rezim.” Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Presiden AS, JD Vance, kepada NBC. Vance menekankan bahwa serangan tersebut semata-mata berfokus pada penghilangan ancaman dari program nuklir Iran.
Vance menambahkan bahwa serangan tersebut bukan merupakan intervensi dalam konflik antara Israel dan Iran. Ia menegaskan komitmen Presiden Trump terhadap prinsip non-intervensionisme, sesuai dengan janji kampanye pemilu 2024. “Saya rasa presiden telah sangat jelas bahwa kami tidak tertarik untuk terlibat dalam konflik jangka panjang di Timur Tengah,” ujar Vance dalam wawancara dengan ABC News.
Perbedaan pernyataan antara Trump dan para pejabat pemerintahannya menimbulkan pertanyaan mengenai strategi dan tujuan sebenarnya di balik serangan tersebut. Apakah pernyataan Trump merupakan strategi politik untuk menarik perhatian publik atau indikasi adanya perpecahan dalam kebijakan luar negeri pemerintahannya? Hal ini masih menjadi bahan spekulasi dan analisis. Pernyataan Trump yang secara tersirat mendukung perubahan rezim, meskipun dibalut dengan retorika “Make Iran Great Again”, menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan dan perbedaan pandangan dalam lingkup pemerintahan AS sendiri.
Serangan terhadap Iran, terlepas dari penafian resmi, telah memicu kekhawatiran akan eskalasi konflik di Timur Tengah. Respons Iran terhadap serangan tersebut, dan dampaknya terhadap stabilitas regional, masih perlu dipantau secara seksama. Ketegangan antara AS dan Iran telah berlangsung lama, dan pernyataan-pernyataan yang saling bertolak belakang ini semakin memperumit situasi yang sudah rawan. Perbedaan penekanan antara tujuan militer dan tujuan politik dalam pernyataan resmi pemerintahan AS juga menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan konsistensi kebijakan luar negeri mereka.
Kesimpulannya, pernyataan kontroversial Trump menimbulkan keraguan dan pertanyaan mengenai konsistensi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Perbedaan pendapat yang terlihat antara Presiden Trump dan pejabat pemerintahan lainnya menunjukkan kompleksitas situasi dan potensi ketidakpastian dalam hubungan AS-Iran. Peristiwa ini perlu dilihat sebagai bagian dari dinamika politik dalam negeri AS sekaligus sebagai faktor yang berpotensi memperburuk situasi geopolitik yang sudah tegang di Timur Tengah.