Seorang cheerleader di Liga Baseball Korea (KBO League), Lee Ju-eun (21), menuai kontroversi karena pakaiannya yang dianggap terlalu seksi. Debutnya bersama tim LG Twins pada 12 April lalu langsung menyita perhatian publik Korea Selatan, baik pujian maupun kritik.
Banyak yang memuji kecantikan Lee, namun tak sedikit pula yang mengecam penampilannya yang dinilai terlalu terbuka.
Kontroversi Pakaian Cheerleader LG Twins
Kritikan terhadap penampilan Lee Ju-eun bermunculan di media sosial, khususnya platform X (sebelumnya Twitter). Netizen menilai pakaian yang dikenakannya terlalu menonjolkan beberapa bagian tubuh.
Beberapa komentar netizen mengungkapkan kekhawatiran terhadap pakaian yang dinilai tidak pantas dilihat anak-anak dan remaja yang hadir di stadion.
Komentar Netizen yang Mengecam
Salah satu netizen di X menulis, “Pakaiannya mencoba melakukan semuanya sekaligus; memperlihatkan ketiak, pusar, belahan dada, dan seluruh pahanya.”
Netizen lain mempertanyakan perlunya pakaian tersebut untuk mendukung tim. “Mengapa dia harus pakai pakaian seperti itu untuk memandu sorak?” tulisnya.
Kritik lain bernada lebih halus namun tetap tegas. “Betapa pun cantiknya dia, dia tidak perlu mengenakan sesuatu yang terbuka seperti itu,” komentar netizen lainnya.
Kekhawatiran akan pengaruh pakaian tersebut terhadap anak-anak dan remaja juga diungkapkan. “Ada banyak remaja dan anak-anak di stadion. Sampai kapan pemandu sorak berpakaian terlalu terbuka,” cuit netizen lain.
Tanggapan Pihak LG Twins dan Lee Ju-eun
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari LG Twins, tim baseball yang berbasis di Seoul, terkait kontroversi ini.
Lee Ju-eun sendiri memilih untuk tetap fokus pada pekerjaannya dan belum memberikan pernyataan apapun menanggapi kritikan yang ditujukan padanya.
Implikasi dan Perspektif Lebih Luas
Insiden ini memicu perdebatan mengenai standar berpakaian yang pantas bagi seorang pemandu sorak di ajang olahraga profesional.
Peristiwa ini juga mengundang diskusi lebih luas mengenai representasi perempuan dalam industri olahraga dan bagaimana standar kecantikan yang sempit dapat mempengaruhi pilihan busana.
Beberapa berpendapat bahwa pakaian cheerleader seharusnya mempertimbangkan konteks penonton dan menjaga etika kesopanan.
Sementara itu, sebagian lain berpendapat bahwa setiap individu berhak menentukan gaya berpakaiannya selama tidak melanggar aturan.
Perdebatan ini menyorot kompleksitas antara kebebasan berekspresi dan norma sosial yang berlaku di masyarakat Korea Selatan.
Ke depannya, peristiwa ini diharapkan dapat memicu diskusi yang lebih konstruktif tentang standar berpakaian dan representasi perempuan dalam dunia olahraga.
Perlu diingat bahwa setiap individu memiliki perspektif yang berbeda terhadap isu ini.
Kesimpulannya, kasus Lee Ju-eun menjadi cerminan penting bagi para pelaku industri olahraga untuk mempertimbangkan secara seksama dampak dari pilihan busana terhadap penonton dan citra perempuan dalam olahraga.