Pangeran Sabrang Lor, nama yang mungkin asing bagi sebagian besar, menyimpan kisah heroik dalam sejarah Nusantara. Ia adalah Muhammad Yunus, putra mahkota Kesultanan Demak, yang perannya jauh melampaui sekedar status bangsawan. Kisah hidupnya merupakan perpaduan antara diplomasi, peperangan, dan tekad kuat menegakkan Islam di tengah gejolak politik dan kedatangan penjajah. Perjalanan hidupnya layak diungkap dan dihayati sebagai pelajaran berharga bagi generasi kini.
Nama “Sabrang Lor” atau “Pangeran dari Utara” mencerminkan perjalanan dan perjuangannya yang sebagian besar terjadi di wilayah utara Nusantara. Gelar Raden Surya, yang juga melekat padanya, mengacu pada lambang kerajaan Demak yang berakar dari kejayaan Majapahit. Kedua gelar ini merepresentasikan akar sejarah dan luasnya kiprahnya dalam membangun dan mempertahankan kekuasaan Demak.
Asal-usul dan Pendidikan Seorang Putra Mahkota
Muhammad Yunus lahir sebagai putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Ia tumbuh dalam lingkungan istana yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan keberanian.
Naskah Negarakertabhumi menyebutnya sebagai Putra Mahkota, pewaris tahta Demak. Pendidikannya membekali dirinya dengan ilmu pemerintahan dan kepemimpinan, mempersiapkannya untuk memimpin kerajaan yang sedang berkembang pesat.
Pernikahannya dengan Nyi Ratu Ayu, putri Sunan Gunung Jati dari Cirebon, semakin memperkuat hubungan antara Demak dan Cirebon, dua pusat kekuatan Islam di Jawa saat itu. Sayangnya, pernikahan tersebut tidak menghasilkan keturunan.
Kiprah Militer dan Diplomasi di Nusantara
Sebelum naik takhta, Muhammad Yunus menjabat sebagai Adipati Jepara. Posisi strategis ini memberinya kesempatan untuk mengasah kemampuannya di bidang maritim dan diplomasi.
Pada usia 26 tahun, ia memulai perjalanan panjang ke berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Cirebon, Palembang, Pasai, dan Malaka. Perjalanan ini bukan hanya ekspansi politik, tetapi juga upaya membangun jaringan Islam di wilayah Melayu.
Di Malaka, ia menikahi putri bangsawan setempat. Pernikahan ini semakin memperkuat posisinya dan pengaruh Demak di kawasan strategis tersebut.
Perlawanan Terhadap Portugis di Malaka
Kedatangan armada Portugis di Malaka memicu perlawanan. Pangeran Sabrang Lor memimpin pasukan Jawa melawan penjajah Eropa. Meskipun serangan pertama gagal, perlawanannya menandai awal dari resistensi terhadap kolonialisme di Nusantara.
Setelah kembali ke Jawa dan menjadi Sultan Demak, ia kembali melancarkan ekspedisi militer ke Malaka. Namun, upaya kedua ini juga berakhir dengan kegagalan dan gugurnya Pangeran Sabrang Lor dalam pertempuran heroik.
Warisan dan Pengaruh Pangeran Sabrang Lor
Kematian Pangeran Sabrang Lor di medan perang mengukuhkannya sebagai simbol perjuangan dan pengorbanan. Ia bukan hanya pemimpin yang memerintah dari istana, tetapi juga berjuang di garis depan untuk kemerdekaan bangsanya.
Meskipun namanya mungkin kurang populer dibandingkan tokoh-tokoh lain, kiprahnya menyimpan pelajaran berharga tentang keberanian, loyalitas, dan semangat jihad. Ia adalah contoh pemimpin yang rela mengorbankan segalanya demi kedaulatan dan agama.
Saat ini, nama Pangeran Sabrang Lor kembali diangkat dalam kajian sejarah lokal. Ia layak dikenang sebagai pionir perlawanan terhadap kolonialisme Barat, tokoh yang memilih mati terhormat daripada tunduk pada kekuatan asing. Kisah hidupnya merupakan warisan berharga bagi bangsa Indonesia.
Pangeran Sabrang Lor, lebih dari sekedar seorang pangeran, adalah simbol perlawanan dan pengorbanan yang patut diteladani. Kisahnya mengingatkan kita akan pentingnya keberanian dan perjuangan dalam menjaga kedaulatan dan jati diri bangsa. Ia bukan hanya bagian dari sejarah Demak, tetapi juga sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.