Topreneur Bank Dunia baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan: harga beras di Indonesia ternyata yang termahal di ASEAN! Padahal, harga yang tinggi ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan para petani. Kok bisa?
Menurut Carolyn Turk, Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste, East Asia and Pacific World Bank, pembatasan impor dan keputusan pemerintah menaikkan harga jual beras menjadi penyebab utama tingginya harga beras. Ironisnya, kebijakan ini justru melemahkan daya saing pertanian dan tidak memberikan dampak positif bagi kesejahteraan petani.
"Pendapatan banyak petani marjinal sering kali jauh di bawah upah minimum, bahkan sering kali berada di bawah garis kemiskinan," ujar Carolyn.
Data menunjukkan bahwa pendapatan petani per hari hanya mencapai Rp15.207 atau setara dengan USD1. Artinya, dalam setahun, petani hanya mendapatkan Rp5 juta atau USD34, yang masih jauh di bawah upah minimum.
Menanggapi hal ini, Badan Pangan Nasional (BPN) mendorong para petani untuk menggunakan benih unggul dan berkualitas agar produktivitas dan penghasilan mereka meningkat. Harapannya, dengan panen yang lebih melimpah, harga beras bisa stabil dan tidak terlalu tinggi.
Pemerintah pun berjanji untuk terus berupaya meningkatkan keuntungan para petani. Namun, apakah upaya ini cukup untuk mengatasi permasalahan kompleks yang dihadapi para petani?
Masyarakat pun bertanya-tanya, bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi disparitas harga beras dan kesejahteraan petani? Apakah kebijakan pemerintah saat ini sudah tepat?