Lebih dari satu juta lulusan perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Angka ini menjadi sorotan tajam, terutama di tengah bonus demografi yang seharusnya menjadi momentum kemajuan bangsa. Kondisi ini menggambarkan ketimpangan sistemik yang perlu segera ditangani. Pemerintah telah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk pendidikan tinggi, namun hasilnya belum sesuai harapan.
Kegagalan Sistemik dalam Sistem Pendidikan Tinggi Indonesia
Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menyebut tingginya angka pengangguran sarjana sebagai ironi besar dan kegagalan sistemik. Anggaran pendidikan tahun 2025 mencapai Rp 76,4 triliun, termasuk Rp 4,7 triliun untuk pengembangan sarana prasarana perguruan tinggi negeri. Namun, investasi besar ini belum mampu menjamin penyerapan lulusan ke dunia kerja.
Investasi besar dalam pendidikan tinggi belum berdampak signifikan pada tingkat pengangguran. Nurhadi menyamakan situasi ini dengan “panen sarjana tapi ladangnya kosong,” menggambarkan ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.
Relevansi Pendidikan dan Kebutuhan Pasar Kerja
Nurhadi menekankan pentingnya transformasi ketenagakerjaan berbasis kompetensi dan relevansi dengan industri masa depan. Menurutnya, kegagalan *link and match* antara pendidikan dan dunia kerja menjadi akar masalah. Ia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah serius dalam mengatasi masalah ini.
Pemerintah perlu melakukan reformasi pendidikan vokasional. Selain itu, peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor digital dan industri masa depan juga sangat penting.
Tantangan Transformasi Ketenagakerjaan
Transformasi ketenagakerjaan membutuhkan komitmen dan kerja sama berbagai pihak. Perguruan tinggi perlu menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri. Sementara itu, dunia usaha perlu berperan aktif dalam pelatihan dan penyerapan tenaga kerja.
Solusi Jangka Pendek dan Panjang untuk Mengatasi Pengangguran Sarjana
Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan terdapat 7,28 juta pengangguran di Indonesia pada tahun 2025. Dari jumlah tersebut, lebih dari 1 juta merupakan lulusan universitas. Kondisi ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga berpotensi menjadi bom sosial.
Pemerintah perlu segera melakukan langkah konkret. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan vokasi dan mengembangkan program pelatihan berbasis kompetensi sesuai kebutuhan industri. Kerja sama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha sangat penting untuk memastikan kesesuaian antara pendidikan dan dunia kerja.
Pengembangan program magang dan kerja sama antara perguruan tinggi dan industri perlu diperkuat. Hal ini untuk memberikan kesempatan bagi lulusan untuk mendapatkan pengalaman kerja dan meningkatkan daya saing mereka di pasar kerja.
Kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta sangat krusial. Upaya ini akan menciptakan keselarasan antara kebutuhan industri dengan keahlian lulusan.
Lebih dari sekedar angka statistik, jutaan sarjana pengangguran adalah cerminan dari kelemahan sistemik. Mencegah masalah ini menjadi krisis sosial membutuhkan langkah nyata, bukan hanya janji. Transformasi pendidikan dan ketenagakerjaan yang komprehensif adalah kunci untuk memanfaatkan bonus demografi secara optimal dan membangun Indonesia Emas.