Polemik seputar “sound horeg” di Malang Raya, Jawa Timur, terus bergulir setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim mengeluarkan fatwa haram. Dua kepala daerah setempat, Wali Kota Malang Wahyu Hidayat dan Bupati Malang M Sanusi, masih enggan mengambil sikap tegas terkait larangan tersebut. Keduanya menyatakan menunggu regulasi resmi dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Malang Raya memang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan aktivitas sound horeg paling tinggi di Jawa Timur. Oleh karena itu, keputusan terkait pelarangannya memerlukan pertimbangan matang dan regulasi yang jelas untuk menghindari kesalahpahaman dan konflik.
Wali Kota Wahyu Hidayat menjelaskan, “Kita sudah bahas, dan nanti Gubernur akan mengeluarkan aturan. Saya juga sudah bertemu dengan Pak Emil dan beliau menyampaikan akan ada regulasi soal itu. Kita akan ikuti,” ujarnya pada Rabu (16/7). Meskipun demikian, Pemkot Malang tetap mengimbau panitia kegiatan masyarakat untuk menjaga ketertiban dan akan memantau langsung pelaksanaan acara-acara yang menggunakan sound horeg untuk melihat potensi masalah di lapangan. “Panitianya dari masyarakat, yang menikmati juga masyarakat. Selama ini, kegiatan seperti bersih desa dan suroan tetap berjalan tanpa masalah. Tapi nanti saya akan lihat langsung apa permasalahannya,” tambahnya.
Sikap Bupati Malang dan Perbedaan Pandangan
Berbeda dengan Wali Kota Malang, Bupati Malang M Sanusi memandang sound horeg itu sendiri sebenarnya mubah atau diperbolehkan. “Ya nanti ikuti petunjuk berikutnya dari pemerintah,” kata Sanusi. Menurutnya, “Yang sound-nya itu kan mubah, jadi boleh. Tapi [aktivitas] yang mengikuti kegiatan itu yang tidak diperbolehkan, dancer-nya, minum minuman (alkohol) itu yang menurut MUI yang enggak boleh,” jelasnya. Intinya, bukan sound system-nya yang diharamkan, melainkan aktivitas-aktivitas negatif yang menyertainya.
Sanusi menekankan pentingnya pelaksanaan sound horeg yang sesuai dengan adat istiadat dan nilai-nilai lokal yang baik. Penggunaan sound system harus diarahkan untuk kegiatan positif seperti pengajian atau hajatan, bukan untuk acara yang mengganggu ketertiban umum dan bertentangan dengan norma. “Untuk menghindari dari keresahan masyarakat maka pelaksanaan sound horeg mengikuti ada istiadat yang bagus. Sebaiknya sound itu ya digunakan untuk kemanfaatan yang benar, untuk pengajian, hajatan yang jalan. Tapi kalau sifatnya merusak itu yang enggak boleh,” tegasnya.
Tanggapan Wakil Gubernur Jawa Timur
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak sebelumnya telah meminta pengusaha sound horeg untuk mematuhi fatwa MUI Jatim. Emil menekankan pentingnya pengaturan aktivitas sound horeg agar tidak mengganggu ketertiban umum dan kegiatan keagamaan. “Sound horeg harus patuhi aturan pemerintah dan fatwa ulama. Kita harus memastikan bahwa kegiatan ini tidak mengganggu ketertiban umum dan kegiatan keagamaan,” tegasnya pada Kamis (14/7).
Emil menyinggung beberapa dampak negatif potensial dari sound horeg, seperti penari dengan pakaian kurang pantas di tempat umum, dan kerusakan infrastruktur desa akibat kegiatan tersebut. “Apabila sound horeg didefinisikan sebagai acara yang kemudian mengundang orang membawa kendaraan yang ada soundnya terus kalau portal yang gak muat, portalnya dibongkar, ada gapura, gapuranya dirusak. Kira kira saya setuju tidak? Tidak,” jelasnya. Emil juga menekankan pentingnya mematuhi regulasi yang ada, termasuk izin keramaian dan batasan desibel suara.
Emil menyambut baik fatwa MUI Jatim, mengakui potensi ekonomi dari sound horeg, namun tetap memprioritaskan aspek agama dan moralitas. “Fatwa Ulama tentang penggunaan sound horeg sangat penting untuk memastikan bahwa kegiatan ini dilakukan dengan baik dan tidak mengganggu ketertiban umum,” ujarnya.
Larangan Resmi dari Polresta Malang Kota
Polresta Malang Kota telah secara resmi melarang kegiatan sound horeg di wilayah hukumnya. Kabag Ops Polresta Malang Kota, Kompol Wiwin Rusli membenarkan hal ini. “Betul, [sound horeg] dilarang [di Kota Malang],” katanya pada Rabu (16/7). Alasannya adalah potensi gangguan ketertiban masyarakat, seperti yang terjadi pada sebuah karnaval di Kelurahan Mulyorejo yang berujung kericuhan. “Pertimbangannya mengganggu kenyamanan masyarakat,” tegas Wiwin. Polisi akan menindak tegas siapapun yang melanggar larangan tersebut dengan penangkapan.
Kesimpulannya, penggunaan sound horeg di Malang Raya masih menjadi perdebatan. Meskipun MUI Jatim telah mengeluarkan fatwa haram, keputusan final terkait pelarangannya masih menunggu regulasi resmi dari Pemprov Jatim. Sementara itu, Polresta Malang Kota telah mengambil langkah tegas dengan melarang kegiatan tersebut di wilayahnya. Perdebatan ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara aspek budaya, ekonomi, dan ketertiban umum dalam mengatur kegiatan-kegiatan masyarakat.